Oleh: Dr. Nasaruddin Umar, SH.MH

(Direktur Pusat Studi Konstitusi, Politik dan Pembangunan Daerah Provinsi Maluku (PUSKPPEMA)

Euforia politik di tahun-tahun politik menjelang Pemilu 19 April 2019 kian menghangat setelah penetapan Komisi Pemilihan Umum RI pasangan calon Presiden 2019 yang menetapkan nomor urut 01 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yakni Ir. Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 di duduki oleh H. Prabowo Subianto-H. Sandiaga Salahuddin Uno.

Dimulainya masa kampaye dari tinanggal 23 September 2018 sampai 19 April 2019, membawa konsekuensi baik secara yuridis maupun secara politik khususnya bagi masyarakat Maluku. Sebab, apakah Pemilu kali ini memberi harapan baru untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan di Maluku. Dan apakah nilai tawar dan posisi Maluku dalam Pilpres 2019 kemana suara 1.207.994 Daftar Pemilih Tetap (DPT) Provinsi Maluku akan berlabuh.

Sebab, sekilas dapat kita lihat bahwa suksesi kepemimpinan nasional selama ini belum memperlihatkan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan dan pembangunan di Maluku. Data menunjukkan dalam berbagai aspek, Maluku masih jauh tertinggal jika dibandingkan provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Data dirilis BPS Maluku 02-01-2018, jumlah penduduk miskin di Maluku sebesar 18,45 persen atau mencapai 320, 42 ribu jiwa merupakan angka tertinggi kemiskinan di Indonesia bersama Papua. Demikan pula angka pengangguran tertinggi secara nasional yakni mencapai 65.735 orang atau 9,29 persen dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 68,19 masih dibawah nilai rata-rata IPM Nasional. 

Total DIPA 2018 Maluku hanya 20,2 Triliun jauh lebih kecil dari Papua sebesar 58,97 Triliun di tahun 2018. Artinya posisi tawar Maluku dalam setiap kontestasi Pilpres masih sangat lemah, belum lagi keterwakilan putra-putri Terbaik Maluku dalam struktur pemerintahan pusat baik dalam jabatan menteri, badan pemerintah pusat, kepala BUMN, belum merepresentasikan keinginan masayarakat Maluku.

Sehingga mempersoalkan posisi Maluku dalam Pilpres 2019 menjadi relevan dalam konteks membangun pendidikan politik  atau political education bagi masyarakat Maluku. sejauhmana pilpres 2019 berpengaruh dalam percepatan penuntasan masalah-masalah krusial di Maluku, seperti pengentasan kemiskinan, pemerataan pembangunan, ketertinggalan pendidikan dan kesehatan, tingginya pengangguran dan keterbatasan lapangan kerja, serta pengakuan otonomi khusus provinsi kepulauan atau daerah tertinggal tidak bisa kita raih. 

Padahal posisi tawar Maluku sangat strategsi dari segi kekayaan sumber daya alam sangat menjanjikan secara nasional seperti adanya tambang minyak blog Masela, tambang emas pulau buru, potensi perikanan yang begitu luas yang merupakan aset nasional strategis yang menjanjikan bagi bangsa ini ke depan belum lagi modal social yang cukup tinggi yang kita miliki dengan keanekaragaman suku, agama, adat istiadat, budaya telah menjadi icon baru secara nasional sebagai percontohan laboratorium kerukunan dan toleransi di Indonesia. ini menjadi situasi yang paradoks yang seharusnya tidak terjadi.

Dalam konteks itu, dinamika politik dan proses dukung-mendukung paslon di masyarakat yang melebar luas baik di media social baik WA, facebook, twiter, media social lainnya maupun di dalam masyarakat serta politisasi dukungan secara terang-terangan yang dipertontongkan sejumlah kepala daerah Gubernur, Bupati/Walikota secara terbuka, padahal masa kampaye baru saja dimulai dan waktunya masih cukup lama hingga menjelan April 2019, sementara sang presiden/wakil presiden belum lagi berkampanye secara terbuka atau secara dialogis secara langsung dengan rakyat, apa yang kelak akan dilakukan jika terpilih. 

Seperti yang dilakukan 15 Gubernur di Indonesia kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin diantaranya Gubernur NTB TGB Zainul Majdi, Gubernur Papua Lukas Enembe, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Bali Wayan Koster, Gubernur Sumatera selatan Herman Deru, dll.

Dukungan sang kepala daerah dan komunitas masyarakat terhadap sang presiden/wakil presiden tanpa kontrak dan komitmen politik dapat saja dipahami public sebagai dukungan yang bersifat politis atau terkesan oleh public sebagai “politik balas budi” sebab jika penyataan dukungan kepala daerah dilakukan secara sepihak tanpa persetujuan masyarakatnya bahkan tanpa melalui proses dialogis kontrak komitmen dengan sang paslon presiden, maka ini boleh jadi bentuk pembajakan demokrasi hak kedaulatan masyarakat suatu daerah karena tanpa melalui consensus politik rakyat, sehingga kontraproduktif terhadap pendidikan politik yang sehat untuk masa depan rakyat kita.

Pertanyaan kemudian, bagaimana nilai tawar dan positioning power Maluku dalam pilpres 2019, apakah kita akan terjebak dengan euphoria politik kepala daerah seperti itu sehingga akan bermunculan juga dukungan terbuka sang kepala daerah baik Gubernur maupun bupati atau wali kota dan komunitas masyarakat Maluku kepada paslon presiden/wakil presiden tertentu, sehingga kita lata dan melupakan persoalan besar kita. Atau kah Maluku memiliki cara tersendiri dalam membangun relasi politik strategis kedaerahan dengan sang presiden, agar pilpres 2019 memiliki nilai tawar atau bargaining position yang kuat dalam percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Maluku, nampaknya arah menuju relasi yang demikian belum terlihat di Maluku bahkan secara nasional, sebab masing-masing tim sukses sibuk menggalang dukungan kepada sang paslon presidennya, belum lagi para caleg dan parpol masing-masing juga sibuk secara personal mencari dukungan pemilih.

Di samping itu, problem utamanya ada pada lemahnya posisi tawar rakyat kepada pemerintah disetiap kontestasi pemilu disebabkan karena secara hukum tata negara tidak ada mekanisme pertanggungjawaban langsung kepada rakyat ketika sang presiden terpilih  dan selesai menjalankan tugasnya sehingga urgensitas komitmen politik sejak awal menjadi penting dilakukan, belajar dari dua pemerintahan sebelumnya pasca reformasi baik di era kepemimpinan Presiden SBY hingga kepemimpinan Presiden Jokowi  dukungan suara rakyat Maluku kepada sang Presiden belum ada laporan resmi pertanggungjawaban apa yang telah diberikan secara riil untuk meningkatkan pembangunan kesejahteraan masyarakat Maluku.   

Sehingga dalam konteks pemilu 2019 rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara harus dicerdaskan bahwa esensi dukungan politik kepada kepada sang Presiden bukanlah “cek kosong” yang bersifat transaksional belaka namun lebih substansial, sebab konsekuensinya dukungan itu akan dirasakan selama lima tahun.

Secara regulasi dan tradisi electoral, mekanisme kampaye yang akuntabel antara paslon dan pemilih dalam satu ikatan hukum yang berbasis pernyataan tentang fakta atau statement of fact dan contrak politic atau dalam doctrin common law sering disebut dengan istilah misrepresentation namun dalam tradisi sistem civil law yang banyak di anut di Indonesia  belum dikenal dalam sistem atau rezim pemilu kita baik diatur secara resmi melalui sistem regulasi pemilu maupun dipraktekkan secara langsung paslon presiden dan wakil presiden. Sehingga sangat memungkinkan dan terbuka ruang sang Presiden mengabaikan janji politiknya, sebab secara regulasi tidak ada mekanisme yang mewajiban sang Presiden bertanggung jawab langsung kepada constituennya  bahkan tidak ada konsekuensi ketatanegaraan yang mengikat sang presiden untuk dapat atau tidak ikut kembali menjadi paslon pada pemilu berikutnya jika janji politiknya tidak ditunaikan. 

Demikian pula secara ketetanegaraan, UUD NRI Tahun 1945 tidak mengenal sistem pertanggungjawaban hukum sang presiden setiap tahun dan diakhir masa jabatan baik secara kinerja maupun pelaksanaan janji politik pada saat kampanye.

Kondisi recht vacuum atau kekosongan hukum berkaitan dengan mekanisme dan sistem pertanggungjawaban hukum dan politik, menyebabkan posisi rakyat sangat lemah dimata negara, akibatnya dukungan politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan dapat dibajak secara politis pula oleh paslon, karena tidak ada ikatan hukum yang bersifat mengikat sang presiden, bahkan menjatuhkannya pun dimasa pemerintahannya secara konstitusional sangat tidak diizinkankan seperti masa reformasi. 

Menjatuhkan sang presiden/wakil presiden di masa jabatannya (impeachment) berdasarkan Pasal 7 UUD NRI 1945 hanya diizinkan melalui mekanisme sidang paripurna DPR dan MPR setelah sebelumnya melalui sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi.

Namun sebagai warga negara kita patut mempertanyakan, apa komitmen politik sang presiden jika kelak terpilih, mengapa kerja-kerja pembangunan spektakuler mega proyek 10 tahun terakhir tentang jalan tol, bendungan, proyek listrik megawaat, kereta api MRT, pelabuhan dan bandara internasional, masih berputar di wilayah Jawa, Kalimantan, sumatera, hingga Papua dan Sulawesi. 

Pertanyaannya di mana posisi Maluku dalam mega proyek tersebut. Apakah karena Maluku pemilihnya hanya 1.715.548 jiwa dan luas wilayahnya lebih kecil dari provinsi lain di Indonesia. Padahal hak konstitusional sebagai warga negara dan secara wilayah adalah sama, dalam Pasal 27 UUD NRI 1945 secara tegas menyebutkan “segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahaan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” artinya ada prinsip equality atau kesetaraan dalam hal mendapatkan hak pembangunan, pelayanan dalam pemerintahan.

Jika momentum Pilpres 2019 menyikapinya sama dengan pilpres sebelumnya, maka makna Pilpres 2019 bisa diibaratkan seperti pesta rakyat, senang sehari namun bisa menderita selama 5 tahun. Artinya Maluku akan biasa-biasa saja tanpa ada kemajuan yang signifikan. Sehingga yang bisa kita lakukan agar momentun suksesi pilpres 2019 berdampak positif dalam meningkatkan nilai tawar Maluku adalah pertama menjalin persatuan dan kesatuan semua stakeholder baik pemerintahan daerah (pemda dan DPRD), partai politik, media dan masyarakat untuk menyuarakan aspirasi lokal kepada kedua paslon secara dialogis melalui kontrak politik masyarakat Maluku dengan calon presiden. 

Kedua, mengintensifkan komunikasi politik dengan paslon melalui forum-forum kampanye dialogis dan merekomendasikan putra-putri terbaik Maluku untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan jika kelak terpilih. Bila hal ini dapat dikonsolidasikan secara sistematis dan massif oleh semua elemen anak negeri dan pemerintah daerah Provinsi Maluku, maka akan menjadi pendidikan politik yang cerdas bagi rakyat dan kita dapat merasakan hikmah positif pemilu 2019 yang lebih produktif dan berkualitas dalam meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan di Maluku. Semoga saja. (*)

Bagikan: