Oleh: Tammat R. Talaohu (Wakil Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Maluku)


Bulan Agustus selalu menjadi saat yang emosional bagi bangsa Indonesia, tidak saja karena menjadi momentum kemerdekaan Indonesia, tetapi juga karena menjadi saat dimana belenggu penjajahan yang berlangsung selama berabad-abad berhasil dienyahkan.

Inilah waktu dimana bangsa Indonesia mampu mewujudkan mimpi kebebasan dan menentukan nasib sendiri yang telah berabad-abad diperjuangkan.

Momentum yang dengannya cita ke-Indonesia-an dibumikan dalam falsafah Bhineka Tunggal Ika. Tetapi kemerdekaan itu sendiri tidak diperoleh dengan cuma-cuma. Tercatat, sejarah kemerdekaan bangsa ini penuh dengan pengorbanan para pahlawan yang terbentang dari Aceh hingga Papua.

Salah satu pahlawan dimaksud adalah Abdul Muthalib Sangadji. Tulisan pendek ini hendak mengulas sepak terjang aktivis Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII) kelahiran Negeri Rohomoni, Maluku Tengah, yang bahkan oleh tokoh sekaliber Soekarno (Presiden Pertama RI) dianggap sebagai guru politik.

Dalam buku “A.M. Sangadji Menuju Indonesia Merdeka,” (Sam Habib Mony, 2016), disebutkan bahwa pria dengan nama Abdul Muthalib Sangadji lahir di Negeri Rohomoni pada 3 Juni 1889 dari ayah Abdul Wahab Sangadji dan ibu Sitti Saat Pattisahusiwa.

Abdul Muthalib kecil adalah hasil persilangan para bangsawan sebab ayahnya adalah Raja Negeri Rohomoni, salah satu negeri adat terkemuka di Uli Hatuhaha dan ibunya adalah anak dari Raja Negeri Siri Sori Islam, juga salah satu negeri adat terkemuka di Saparua.

Campuran darah ini telah membentuk karakter kepemimpinan Abdul Muthalib bahkan sejak ia masih ada dibangku Hollandsche Inslandsche School/HIS (setingkat sekolah dasar) di Saparua. Sebagai dampak dari diadopsinya kebijakan politik etis oleh Pemerintah Kolonial Belanda, pribumi diberi kesempatan untuk mengecap pendidikan formal, meski dibatasi pada keturunan para bangsawan saja.

Sebagai anak dari Raja Negeri Rohomoni, A.M. Sangadji berada pada generasi awal dimana mereka berkesempatan mengikuti pendidikan dasar, suatu kesempatan yang sangat langkah tetapi pada akhirnya akan menentukan masa depan Bangsa Indonesia.

Setelah menyelesaikan pendidikan di tingkat HIS, Abdul Muthalib kecil melanjutkan studinya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwitch-setingkat sekolah menengah) di Ambon. Setelah itu, ia diterima untuk bekerja sebagai panitera (ghrifeer landraad) pada Kantor Pengadilan Negeri Saparua tahun 1909. Selanjutnya, ia lebih dikenal dengan A.M. Sangadji.

Bagaimanapun, sebagai seorang pribumi, kecerdasan A.M. Sangadji serta pemahamannya yang utuh terhadap Islam telah mempertajam kepekaannya terhadap nasib sesama anak bangsa. Sebagai PNS pada Pemerintah Hindia Belanda, ketika itu, tentu saja hidup Sangadji telah cukup mapan. Tetapi, sebagaimana para aktivis pergerakan seangkatannya di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, Sangadji tetap tidak bisa terima jika bangsanya terus hidup dibawa kendali orang Eropa yang menghisap dan sewenang-wenang.

Cita-cita kemerdekaan Indonesia dan menentukan nasib bangsa sendiri telah tumbuh bersemi dalam dada laki-laki dengan ciri khas kumis panjang yang melengkung disertai rasa nasionalisme yang terus menggelora. Tetapi, episentrum dunia pergerakan kemerdekaan ketika itu memang tidak berada di Maluku.

Karenanya, A.M. Sangadji belum menemukan teman seperjuangan yang tepat dan saling menguatkan guna mengkonsolidasikan ide nasionalisme menuju Indonesia merdeka. Episentrum pergerakan nasional menuju Indonesia merdeka memang berada di tanah Jawa.

Tanggung jawab kesejarahan telah membuat takdir A.M. Sangadji untuk berpindah tugas ke tanah Jawa, tepatnya di Surabaya. Kota dimana para pendiri bangsa akhirnya saling bertemu dan membentuk laboratorium utama dalam melahirkan para pemimpin bangsa di kemudian hari.

Pada tahun 1919, Sangadji telah berada di Surabaya dan masih tercatat sebagai panitera pengadilan dengan wilayah kerja di Surabaya. Disinilah, perjumpaan Sangadji dengan tokoh Syarikat Islam, Bapak Para Pendiri Bangsa, HOS. Tjokroaminoto, terjadi. Begitu pula dengan tokoh pergerakan lainnya seperti Haji Agus Salim, yang mana dengan Haji Agus Salim inilah riwayat pergerakan A.M. Sangadji seperti seiring sejalan karena kesamaan ide, cita-cita dan idiologi perjuangan.

Sebagaimana diulas dalam majalah Tempo, edisi 15-21 Agustus 2011, bahwa seiring merosotnya gerakan Sarekat Islam, karena perpecahan dengan kader beraliran komunis (yang dimotori oleh Alimin, Darsono, dan Semaun), maka Tjokro, Agoes Salim, Abdoel Moeis dan A.M. Sangadji mendirikan Partai Sarekat Islam Hindia Timur, yang enam tahun kemudian berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

Pergerakan dan pergaulannya dengan kelas atas kaum pergerakan Indonesia telah memantapkan tekad Sangadji untuk keluar dari zona nyaman sebagai PNS Pemerintah Hindia Belanda. Praktis, ia hanya menjalankan tugas sebagai pamong Hindia Belanda di Surabaya selama tiga tahun saja.

Setelah itu, Sangadji dengan tegas memilih menjadi bagian integral dari sejarah perjuangan menuju Indonesia merdeka bersama HOS. Tjokroaminoto, Haji Agus Salim dan aktivis pergerakan seangkatannya.

Di PSII inilah A.M. Sangadji ditugaskan untuk melakukan konsolidasi partai, membangun kesadaran nasionalisme serta menggalang perlawanan menuju Indonesia merdeka. Konsolidasi ini ia lakukan di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera hingga Maluku.

Selain  itu, sebagaimana aktivis perjuangan kemerdekaan lainnya, A.M. Sangadji aktif menulis di Koran partai seperti Oetoesan Hindia, Sinar Hindia, Fadjar Asia, atau Suara Borneo. Sangadji juga memiliki gaya berpidato yang khas seperti Tjokro; menggeledek, penuh keyakinan, membawa khalayak menjadi gefascineerd, mabuk tergila-gila. Gaya pidato yang juga ditiru oleh Soekarno.

Pergerakan Sangadji telah membuatnya terlibat aktif dalam Kongres Pemuda Indonesia II yang melahirkan Sumpah Pemuda dan memungkinkannya membangun relasi dan perjumpaan dengan tokoh-tokoh sekaliber Soekarno, Haji Agus Salim, Mr. Mohammad Roem, Ruslan Abdul Gani, M. Sarjan (Menteri Pertanian tahun 1955) Mr. J. Latuharhary (Gubernur Maluku Pertama), Dr. J. Leimena hingga Adam Malik (dikemudian hari menjadi Wakil Presiden RI).

Bung Karno Dalam sebuah pidato di Senayan, Jakarta, Juni 1965, pada acara pembukaan kaderisasi Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi), mengatakan: “Saya mengenal tokoh-tokoh muslim bangsa kita, khususnya PSII. Mereka guru politik saya di zaman pergerakan dahulu, antara lain HOS. Tjokroaminoto dan A.M. Sangadji. Saya mengakui, kedua tokoh ini adalah guru saya,” (Mony, 2016).

Konsekwensi dari perjuangannya-pun harus ditanggungnya yakni masuk keluar penjara. Sangadji tercatat pernah dijebloskan Pemerintah Hindia Belanda di penjara Cipinang, dan di Samarinda, Kalimantan Timur, oleh pemerintah fasis Jepang. Sebuah pidatonya yang terkenal di alun-alun Kota Jogyakarta pada Agustus 1947 tentang pentingnya persatuan nasional dalam mempertahankan kemerdekaan.

Ia mengatakan: “Negara Indonesia yang telah merdeka itu, tidak hanya untuk wilayah tertentu saja. Kemerdekaan kita meliputi seluruh bumi Indonesia dan tidak benar kalau ada negara-negara bagian di dalam negara kesatuan yang merdeka ini, itu hanyalah cara tidak etis yang dilancarkan kaum Kolonial Belanda untuk memecah persatuan bangsa kita saja.”

Di Pemerintahan Republik Indonesia, pasca kemerdekaan, A.M. Sangadji juga pernah dipercayakan sebagai anggota kabinet, yakni di Kabinet Hatta, ia dipercayakan sebagai Penasehat Kementerian Pertahanan bersama Ruslan Abdul Gani yang dipercayakan sebagai Sekretaris Menteri Penerangan.

Pergerakan tokoh PSII ini rupanya dipantau terus oleh lawan-lawan politiknya, terutama PKI. A.M. Sangadji akhirnya ditembak mati oleh aktivis PKI pada subuh 8 Mei 1949 di depan rumahnya di Jogya. Guna mengenang jasa-jasanya pada bangsa ini, sudah seharusnya Pemerintah Daerah Maluku mendorong agar Pemerintah Pusat mengakui dan menetapkan A.M. Sangadji sebagai pahlawan nasional. Selamat Hari Kemerdekaan RI ke-77. Merdeka..! (*)

Bagikan: