Oleh: Dr. Nasaruddin Umar, SH., MH.
Mahkamah Agung (MA) RI sedang memproses gugatan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (PKPU 20/2018) yang salah satu pasalnya melarang eks koruptor mengikuti pemilu legislative 2019.
Berdasarkan data dari MA, ada enam permohonan yang menggungat peraturan KPU tersebut, diantaranya Waode Nurhayati mantan anggota DPR RI yang perkaranya telah teregistrasi dengan nomor 45P/HUM/2018, selanjutnya M. Taufik Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta telah diregistrasi dengan nomor 43/P/HUN/2018. Selain itu, ada juga Patrice Rio Capella mantan Sekjen Nasdem, Djekmon Ambisi, Jumanto dan Abdul Ghani (liputan6.com 27/7/2018).
PKPU 20/2018 ini memang telah menimbulkan kontroversi dan polemik dikalangan masyarakat baik dari sisi hukum maupun hak asasi manusia, yang berujung banyaknya gugatan di Mahkamah Agung. Sejumlah pihak memandang kebijakan tersebut bertentangan dengan hak konstitusional (constitusional right) warga negara dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta melanggar HAM. Namun demikian, tidak sedikit pula pihak yang mendukung kebijakan KPU tersebut atas dasar untuk mewujudkan komitmen pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan Pemilihan Umum yang lebih bermartabat sehingga hal ini menjadi menarik untuk dikaji dan tentunya menjadi ujian bagi para hakim agung dalam mengadili perkara ini.
Apalagi berdasarkan data dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang dirilis melalui Kompas.com (1/8/2018), terdapat ada 202 bakal calon legislatif (bacalaeg) yang merupakan mantan calon korupsi. Anggota Bawaslu Fritz Edwar Siregar mengatakan, bacaleg mantan terpidana tersebut terdapat di 12 provinsi, 97 kaupaten dan 19 kota. Ini berarti, mantan narapidana korupsi yang ikut mendaftar calon legislative cukup besar dan sangat sensitive karena hal ini berkenaan dengan hak politik (political rights) seseorang sebagai warga negara.
Tentu jika ini disikapi dengan prinsip kehati-hatian dan prinsip kecermatan, maka ada banyak warga negara hak konstitusionalnya akan tercederai
Jika kita mendalami objek gugatan para pihak yakni ketentuan pasal 7 ayat (1) huruf h PKPU 20/2018, dimana dalam ketentuan ayat 1 huruf h disebutkan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: huruf h. bukan mantan narapidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak atau korupsi. Maka sejumlah pertanyaan hukum yang bisa kita uji adalah apakah PKPU 20/108 sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau memiliki dasar hukum yang kuat dan apakah KPU sebagai lembaga penyelanggara pemilu berwenang melarang narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, atau kejahatan seksual terhadap anak untuk menjadi calon legislatif dalam pemilu 2019.
Maka secara hukum perundang-undangan (Gesetzesrecht) permasalahan ini dapat dilihat dari 2 (dua) perspektif, pertama secara hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Legal standing atau kedudukan hukum Peraturan KPU atau PKPU merupakan salah peraturan yang diakui keberadaanya sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) yang pada pokoknya bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) mencakup: diantaranya komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang. Artinya peraturan KPU bersifat mengikat.
Namun demikan, dalam hal daya mengikatnya bersifat bersyarat, sebab peraturan yang dibuat KPU harus merupakan penjabaran atau diperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seperti UU dan UUD, hal ini diatur dalam ketentuan pasal 8 ayat (2) UU PPP disebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangannya.
Maka kaidah hukum dalam Pasal 7 ayat 1 huruf h PKPU 20/2018 haruslah dimaknai sepanjang telah diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pertanyaan selanjutnya adalah apakah ada kaidah hukum dalam UU yang secara tegas dan rigit memerintahkan KPU untuk membuat persyaratan bahwa mantan narapidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak atau korupsi harus dimasukkan sebagai salah satu syarat pencalonan dalam pemilu legislatif. Jika tidak, maka norma hukum pasal 7 ayat 1 huruf h berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan yakni UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU PPP.
Jika kita melihat dasar hukum yang digunakan KPU dalam mengeluarkan PKPU 20/2018 dalam konsideran menimbang adalah ketentuan Pasal 249 ayat (3) dan Pasal 240 ayat 257 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam pasal 249 ayat (3) disebutkan Ketentuan lebih lanjut mengenai proses verifikasi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diatur dalam Peraturan KPU. artinya ketentuan ini tidak berkaitan dengan syarat pencalolan yang harus diatur lebih lanjut oleh PKPU, demikian pula ketentuan pasal 257 ayat (3) disebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diatur dalam Peraturan KPU, 2 ayat di atasnya yakni pasal 257 ayat (1) hanya berkaitan dengan ketentuan daftar calon tetap diumukan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sedangkan Pasal 257 ayat (2) berkaitan presentase keterwakilan perempuan dalam calon tetap partai politik masing-masing pada media cetak.
Artinya pasal 257 juga tidak berkaitan spesifik dengan syarat-syarat pencalonan bakal caleg. Sebab, ketentuan syarat pencalonan telah diatur sebelumnya dalam pasal 240 dan di dalam pasal 240 tersebut tidak terdapat ayat pendelegasian kewenangan kepada KPU untuk membuat norma pengaturan lebih lanjut melalui peraturan KPU. Apalagi secara subtansi hukum UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam Pasal 240 telah diatur persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD kabupaten/kota, dalam ketentuan tersebut sudah diatur secara jelas dan tegas terdapat 16 poin persyaratan menjadi bakal calon, namun tidak satupun poin menyebutkan bahwa bukan mantan narapidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak atau korupsi.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan pasal 240 maka disinyalir KPU telah membuat norma baru tentang persyaratan bakal calon. Apakah sebuah komisi negara seperi KPU dimungkinkan secara hukum positif (ius constitutum) membuat norma baru atau merubah undang-undang yang sesungguhnya kewenangan itu ada di lembaga legislatif seperti DPR sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Artinya DPR-lah yang memiliki kewenangan absolute dalam membuat UU atau mengubah suatu UU. Sehingga berkenaan dengan itu KPU dapat dipandang telah menjalankan fungsi kelegislasian DPR yang bukan merupakan kompetensinya. Bahkan lebih dari itu, hadirnya PKPU 20/2018 seolah-olah memosisikan KPU menjalankan kekuasaan kehakiman (yudikatif power) karena PKPU tersebut dengan sendirinya mencabut hak politik (political righ) seseorang untuk ikut dalam kontestasi Pemilu.
Dalam pameo hukum juga dikatakan, “lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah”. Artinya, KPU seolah-olah telah menjadi institusi kehakiman “menghukum” seseorang dengan mencabut hak politik dan hak hukum mantan narapidana korupsi, narkoba dan asusila mengajukan diri menjadi calon legislatif. Padahal yang sebetulnya, mantan narapidana tersebut tidak pantas dihukum sebab ia tidak bersalah karena hukum yang lebih tinggi yakni konstitusi maupun dalam undang-undang tidak melarang untuk menjadi caleg.
Kedua, secara hukum administrasi pemerintahan, maka seyogianya suatu badan atau pejabat Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan suatu peraturan (beschikking daad van de administratie) haruslah berdasarkan prinsip legalitas, sebagaiman diatur dalam UU No. 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan dalam pasal 5 disebutkan bahwa Penyelenggaraan administrasi pemerintahan berdasarkan asas legalitas dan asas perlindungan terhadap hak asasi manusia dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Dan dalam pasal 7 dipertegas kembali bahwa pejabat Pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan dan AUPB, pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban membuat Keputusan dan/atau tindakan sesuai dengan kewenangannya dan dalam ketentuan Pasal 8 disebutkan bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan wewenang wajib berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AUPB dan Pejabat Administrasi Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Kewenangan dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau Tindakan.
Maka baik secara kelembagaan maupun sebagai pejabat, peraturan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Maka tentunya hakim akan menguji apakah tindakan dan atau keputusan/peraturan yang diambil KPU merupakan perbuatan yang melanggar hukum (onrechmatige overheiddsdaad).
Selanjutnya jika dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 04/PUU-VII/2009 juga telah menganulir aturan pencalolan caleg dan calon kepala daerah yang tadinya melarang mantan narapidana untuk ikut mencalonkan diri dalam pileg. MK menilai aturan larangan napi tidak boleh mencalonkan diri dalam pileg ialah inkonstitusional.
Dengan demikian pula, putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2015 penekanannya pada sepanjang telah melakukan pengakuan dihadapan public, maka seorang caleg mantan narapidana berkak mendaftarkan diri sebagai caleg, sehingga publiklah yang nantinya akan menilai apakah layak atau tidak mantan narapidana dari korupsi dan sebagainya itu menjadi legislator. Maka KPU dalam mengeluarkan peraturan harus menjalankan putusan pengadilan, sebab menjadi kewajiban setiap badan atau pejabat administrasi pemerintahan memiliki kewajiban untuk mematuhi putusan pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i bahwa Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban: diantaranya memetuhi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Oleh sebab itu, ketentuan mengenai persyaratan selalu diatur dalam undang-undang formal (Formell Gesetz), sebab norma hukum persyaratan calon legislative menyangkut hak dasar seseorang sebagai warga negara yang harus dihormati dan diatur secara hati-hati dan level pengaturannya harus melalui undang-undang bukan setingkat PKPU sebagai aturan pelaksana (Autonome Satzung), karena jika tidak maka hak konstitusional seseorang bisa tercederai. Sebab, hak politik maupun hak hukum warga negara selain merupakan hak asasi manusia (mansenrechten), juga merupakan hak warga negara (ground rechten) untuk dipilih (right to be candidate) dan prinsip equality before the law persamaan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Karena prinsip dasar negara hukum pancasila yang kita anut adalah penghormatan pada nilai-nilai keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan prinsip perlindungan hukum terhadap hak warga negara dan hak asasi manusia. Sehingga disinilah esensi sesungghnya prinsip negara hukum perlu diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana hak asasi manusia betul-betul ditegakkan secara adil dan kekuasaan organ negara dapat dikendalikan dan dibatasi agar tidak bertindak berlaku sewenang-wenang.
Kita tunggu saja putusan Mahkamah Agung, semoga dapat melahirkan putusan yang adil berdasarkan hukum dan keadilan, dan sambil berharap sikap negarawan dan ketaatan hukum penyelenggara pemilu KPU RI dan Bawaslu RI dalam menyelesaikan persoalan ini dengan sebaik-baiknya sesuai ketentuan hukum yang berlaku. (*)
*Dr. Nasaruddin Umar, SH., MH merupakan Dosen & Pakar Hukum Tata Negara IAIN Ambon.