Ambon – Komisi II DPRD Kota Ambon meninjau langsung kondisi terminal Mardika pasca hari ke tiga proses penertiban yang dilakukan Tim Terpadu Pemkot Ambon, Kamis (4/8/2022).
Langkah Pemkot Ambon itu ternyata belum didukung sepenuhnya oleh DPRD. Hal itu lantaran, Pemkot dianggap belum punya konsep untuk bagaimana mensejahterakan masyarakat yang didalamnya termasuk pedagang. Bukan soal mempercantik pasar atau terminal semata.
Ketua Komisi II DPRD Kota Ambon Crhistianto Laturiuw usai kunjungan kepada Wartawan menyampaikan, beberapa hal menyangkut kinerja Pemkot Ambon dalam hal ini petugas Disperindag, sebagai pihak yang punya kewenangan mengatur para pedagang.
Bahwa selama ini pedagang yang berada di kawasan dimana dilakukannya penertiban, telah memenuhi seluruh kewajiban mereka terkait retribusi maupun iuran sampah.
Bahkan dibeberapa lapak juga membayar uang keamanan ke pihak asosiasi. Itu artinya, seluruh kewajiban itu dipenuhi pedagang.
“Artinya dalam konteks penataan membuat terminal itu menjadi baik, konsep pertama adalah tujuan pembangunan itu bukan soal membuat terminal itu menjadi bagus dan indah saja, tapi justru mensejahterakan warga masyarakatnya, termasuk para pedagang didalamnya,” ujarnya.
Politisi Partai Gerindra itu menjelaskan, jika aktivitas para pedagang di pasar Mardika itu dianggap menimbulkan kesemrawutan, maka harus dibicarakan secara baik. Bukan berarti melarang mereka untuk berjualan.
Karena apa yang mereka lakukan, itu demi kepentingan mereka dan keluarga yaitu bagaimana bisa makan.
“Jika seluruh kewajiban itu mereka penuhi, mestinya tidak ada larangan. Karena konsep retribusi itu kan berbeda dengan pajak,” tegasnya.
“Retribusi itu artinya jasa pelayanan sudah disediakan oleh pemerintah, lalu pedagang memenuhi kewajiban dengan membayar retribusi, lalu kenapa ada proses-proses pemindahan seperti ini,” sambungnya.
Pihaknya meminta penertiban dilakukan dengan pendekatan humanis yang mempertimbangkan keberadaan pedagang sebagai tujuan pembangunan.
“Jadi jangan sampai kita menata terminalnya menjadi baik, tapi warganya dalam hal ini pedagang menjadi kesulitan. Karena itu didudukan dan dibicarakan secara baik agar tidak ada protes,” jelasnya.
Fakta lain yang disampaikan Laturiuw, terkait biaya sewa lapak yang mencapai Rp. 15-20 juta, dengan luasan lapak yang tidak rasional yakni 90×120 cm
Menurutnya, itu tidak relevan dengan tujuan pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.
Dia menambahkan, komisi II akan mengundang Disperindag Kota Ambon untuk membahas masalah tersebut.
Sementara itu, anggota DPRD Kota Ambon Zeth Pormes mengatakan, bahwa yang dilakukan oleh Disperindag selama ini adalah bagian dari merampok para pedagang yang adalah warga kota sendiri.
Menurutnya, disaat para pedagang diminta membayar kewajiban, itu artinya pemerintah menyetujui para pedagang untuk berjualan ditempat itu.
“Lalu kemudian ada penertiban ini, pertanyaannya, bagaimana dengan retribusi yang ditarik tiap hari dari mereka. Tiap hari ambil uang mereka dengan alasan wajib retribusi, lalu ketika dilakukan penertiban, cara-cara tidak humanis dipakai. Ini yang kami sayangkan,” katanya.
Parahnya lagi, petugas yang melakukan penagihan justru tahu bahwa mereka akan keluarkan, namun tetap melakukan penagihan retribusi.
“Jadi sebelum mau mengusir mereka, ambil uang mereka dulu. Ini merampok namanya,” tegas Zeth Pormes. (dm3)