Oleh: dr. M. Saleh Tualeka, SpM., M.Kes
Beberapa hari terakhir ini, publik Maluku dikejutkan dengan sebuah keputusan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dimana surat dengan nomor 1340/IX- 09/0419 yang ditujukan kepada Direktur RSUD dr. M.Haulussy-Ambon, bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu belum adanya sertifikat Akreditasi Rumah Sakit, maka mulai tanggal 1 Mei 2019, kerja sama pelayanan antara BPJS Kesehatan dengan RSUD dr. M.Haulussy dengan terpaksa dihentikan, kecuali pelayanan gawat darurat, hemodialisa, TB MDR, HIV, kemoterapi dan ambulance, pihak rumah sakit masih dapat menagihkan klaim dengan kasus tersebut diatas ke pihak BPJS Kesehatan.
Selain RSUD dr. M. Haulussy, BPJS Kesehatan juga menghentikan kerja sama pelayanan dengan RSUD Dr. Ishak Umarela-Tulehu dan RS Hati Kudus Langgur Kab. Maluku Tenggara, karena kedua RSUD ini juga tidak memperbaharui sertifikat akreditasi rumah sakit yang menjadi persyaratan kerja sama pelayanan dengan BPJS Kesehatan.
Pemutusan kerjasama pelayanan ini sangat disesalkan karena akan berdampak bagi pemenuhan layanan kesehatan bagi masyarakat Maluku secara keseluruhan mengingat kedua RSUD plat merah milik pemprov Maluku itu selama ini menjadi pusat rujukan pasien bagi semua RSUD di tingkat Kabupaten/ Kota di seluruh Wilayah Maluku. Keputusan ini tentu harus disikapi secara positif terutama bagi pihak manajemen rumah sakit untuk berupaya semaksimal mungkin memenuhi persyaratan akreditasi agar kerja sama dengan BPJS Kesehatan dapat kembali terjalin.
Akreditasi Rumah Sakit
Akreditasi rumah sakit adalah suatu proses dimana suatu lembaga independen baik dalam maupun luar negeri, biasanya non-pemerintah, melakukan assesmen terhadap rumah sakit berdasarkan standar akreditasi yang berlaku. Rumah sakit yang telah terakreditasi akan mendapatkan pengakuan dari pemerintah karena telah memenuhi standar pelayanan dan manajemen yang ditetapkan.
Akreditasi merupakan bentuk perlindungan pemerintah dalam melindungi hak setiap warga Negara agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan bermutu oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Akreditasi ini tidak hanya melindungi masyarakat, akan tetapi juga melindungi tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit itu sendiri.
Akreditasi rumah sakit di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1995, namun akreditasi sebagai persyaratan bagi rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, seharusnya diberlakukan sejak awal 2014, seiring dengan pelaksanaan program JKN-KIS. Namun memperhatikan kesiapan rumah sakit, ketentuan ini kemudian diperpanjang hingga 1 januari 2019, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 99 Tahun 2015 tentang perubahan PMK 71 Tahun 2013 Pasal 41 ayat (3).
Dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumash Sakit pasal 40 ayat (1) yang menegaskan, dalam upaya peningkatan mutu pelayanan, rumah sakit wajib melakukan akreditasi secara berkala minimal tiga tahun sekali. Kemudian PMK Nomor 71 tahun 2013 tentang pelayanan kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang berlaku sejak 1 Januari 2014, pasal 7 huruf b angka 6 peraturan ini menyatakan, salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan kerja sama dengan BPJS Kesehatan adalah memiliki sertifikat akreditasi. Selain itu PMK Nomor 34 Thub 2017 tentang Akreditasi Rumah Sakit, pada pasal 5 menyebutkan rumah sakit harus melakukan perpanjangan akreditasi sebelum masa berlaku status akreditasi berakhir.
Standar penilian akreditasi saat ini yang diberlakukan di Indonesia sejak januari 2018 diberi nama Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1, yang terdiri dari 16 Bab penilaian. SNARS Edisi 1 ini merupakan standar pelayanan berfokus pada pasien untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien dengan pendekatan manajemen resiko di rumah sakit.
Standar dalam penilaian akreditasi ini bersifat umum, sehingga wajib diterapkan oleh semua rumah sakit di Indonesia tanpa memandang kelas dan status kepemilikannya, maka pada prinsipnya, semua rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta harus diakreditasi.
Dengan rujukan regulasi diatas, maka pada kasus dimana sebuah rumah sakit dilakukan pemutusan kontrak kerjasma dengan BPJS Kesehatan, harusnya tidak perlu terjadi jika unsur manajemen rumah sakit menyadari pentingnya akreditasi bagi sebuah rumah sakit, sehingga pemutusan kerjasama ini menunjukan lemahnya komitmen manajemen rumah sakit dan fungsi pengawasan dari pemerintah daerah yang patut dipertanyakan.
Akreditasi ini jangan difahami hanya sekedar proses formalitas yang harus dilewati untuk memperoleh selembar sertifikat akreditasi sebagai bukti pengakuan dari pemerintah yang akan digunakan dalam proses perpanjangan kontrak kerja sama dengan BPJS Kesehatan, sehingga kadang terlihat saat kegiatan survey akreditasi, maka rumah sakit seolah-olah disiapkan sedemikian rupa untuk memenuhi seluruh aspek penilaian akreditasi, namun terlihat miris ketika telah selesai kegiatan survey akreditasi, maka pola manajemen rumah sakit dan pelayanan kepada pasien kembali lagi seperti semula.
Tidak terlihat komitmen perubahan yang ditunjukkan sebagai bukti implementasi standar penilaian akreditasi. Ini menjadi catatan kritis yang harus menjadi perhatian bersama bahwa akreditasi adalah sebuah esensi perubahan pola sikap dan prilaku baik dari unsur manajemen maupun para tenaga kesehatan untuk menghadirkan sebuah kualitas pelayanan kesehatan yang terbaik bagi masyarakat pengguna jasa layanan di rumah sakit.
Tanggung Jawab Pemerintah Daerah
Merujuk pada UU No.44/2009 tentang Rumah Sakit, juga peraturan menteri kesehatan No. 34/2017 tentang Akreditasi Rumah Sakit, maka peran pemerintah daerah sangat dominan dalam membina dan mengawasi penyelenggaraan rumah sakit, selain itu juga memberikan perlindungan kepada masyarakat pengguna jasa pelayanan rumah sakit sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai pemilik rumah sakit, maka keberpihakan pemerintah daerah tidak hanya dominan terlihat pada alokasi anggaran yang besar pada proyek-proyek pembangunan fisik gedung semata, tapi harus secara keseluruhan melihat aspek kebutuhan peralatan medis penunjang pelayanan, juga ketersediaan sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang mumpuni, serta pemerintah daerah wajib mendukung, memotivasi, mendorong, dan memperlancar proses pelaksanaan akreditasi di rumah sakit. Dukungan ini dapat berupa bantuan pembiayaan kepada rumah sakit untuk mempersiapkan proses akreditasi.
Terkadang sebuah rumah sakit terlihat dengan tampilan megah, namun pemanfaatan gedungnya yang tidak maksimal, belum lagi kalau bangunan gedung dan seluruh fasilitas di rumah sakit yang tidak sesuai standar, yang terkesan hanya sekedar menghabiskan anggaran proyek tanpa memikirkan azas manfaat penggunaannya bagi pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan bagi masyarakat.
Sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat sekunder, maka Rumah Sakit diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat secara maksimal, terstandar serta menjamin mutu layanannya. Standarisasi dan kualitas layanan itu akan terlihat apabila sebuah rumah sakit telah mengikuti seluruh tahapan dalam proses akreditasi serta implementasi seluruh elemen penilaian akreditasi.
Tuntutan akreditasi ini didalamnya mengandung makna perlindungan akan hak asasi manusia dalam memperoleh layanan kesehatan yang berkualitas serta perlindungan (hukum) bagi seluruh tenaga kesehatan, sehingga menjadi tanggung jawab pihak manajemen rumah sakit untuk selalu memperpanjang akreditasi sebelum masa berlaku status akreditasinya berakhir serta komitmen pemerintah daerah untuk menjamin tersedianya kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang terakreditasi. (*)
*Data Penulis :
Nama : dr. M. Saleh Tualeka, SpM., M.Kes
Alamat : Perumahan Dinas Dokter Jl. R.A. Kartini – Masohi Tempat Tugas : RSUD Masohi Kabupaten Maluku Tengah
Jabatan : Anggota Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi Maluku